Hukuman Mati

21 October 2008

Salah satu metode hukuman mati adalah gantung

Setiap tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Anti Hukuman Mati Sedunia. Berbagai alasan dikeluarkan untuk menentang hukuman mati. Alasan utamanya adalah melanggar hak hidup dan tidak memberi kesempatan bagi sang terpidana untuk memperbaiki diri.

Mereka mungkin akan bersuara lain bila berada pada pihak yang dirugikan oleh terpidana. Jamak terdengar pihak keluarga seorang korban pembunuhan dengan keras menuntut pelaku dihukum mati. Orang-orang yang menderita secara langsung atau tidak dengan narkoba, menuntut pengedar narkoba dihukum mati. Tak sedikit pula yang menuntut para koruptor dihukum mati. Dan juga soal hukuman mati kepada para ‘teroris’. Lalu, kenapa pihak-pihak yang kontra hukuman mati tidak berkata apa-apa terhadap mereka? Menjelaskan pada pihak korban agar mereka menarik permintaan mereka agar sang pelaku dihukum mati. IMO, kalau mereka melakukan hal tersebut, maka pamor mereka akan hancur :p.

Layak atau tidaknya hukuman mati seharusnya ditilik dari kejahatan yang dilakukan. Ambil contoh ekstrim: Seseorang yang melakukan atau memerintahkan pembantaian, apa pantas untuk diberi hak hidup? Lalu kemudian ia dapat hidup, dibiayai oleh negara bahkan mungkin mendapatkan ‘fasilitas’ tambahan entah dari mana, karena ia cukup mendapat hukuman penjara. Padahal di lain pihak, sebenarnya dengan manajemen yang baik, orang-orang yang dihukum penjara (termasuk penjara seumur hidup pun) masih bisa dikaryakan bukan hanya menghabiskan uang negara. Sebagai contoh, membuat kerajinan tangan, mengerjakan proyek pembukaan lahan (tentu dengan pengamanan tambahan), atau hal-hal lain yang mungkin secara logika dikerjakan oleh seorang narapidana.

Efek yang diharapkan dari hukuman mati bukankah tidak sekedar untuk ‘membayar’ kejahatannya saja, melainkan juga untuk memberikan semacam peringatan agar orang lain tidak melakukan kejahatan yang sama?

Kalau dilihat di Indonesia, sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.

Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.

Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.

Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

Merujuk kepada data yang tertulis di Wikipedia, ada 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.

Hukuman mati di China dengan cara tembak

Memang, praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.

Kembali ke Indonesia, sampai saat ini teknik hukuman mati yang berlaku adalah ditembak mati. Seorang terhukum akan dihadapkan kepada regu tembak 8-10 orang dengan senjata dan peluru tajam. Namun apabila sampai waktu tertentu terpidana, tidak meninggal maka sang komandan akan mengambil pistol dan menembak kepala terpidana dari jarak dekat. Kalau kita hitung, masih ada jeda antara terpidana ditembak dan meninggal, tentu saja hal ini akan sangat menyakitkan bagi terpidana...tapi mau apa lagi, sampai sekarang belum ada amandemen tentang tata cara hukuman mati.

Cara yang lain yang sepertinya paling nyaman adalah suntik mati. Metode suntik mati terdiri dari 3 tahap suntikan. Suntikan pertama adalah untuk membius, menghilangkan kesadaran. Suntikan ini mirip dengan pembiusan biasa, hanya saja dosisnya jauh lebih tinggi, 8 sampai 20 kali lipat dosis bius biasa. Tahapan pertama ini merupakan tahapan paling penting mengingat jika gagal, maka suntikan tahap kedua dan ketiga tidak lagi terasa nyaman, tapi justru sangat menyakitkan. Suntikan selanjutnya diberikan dalam kondisi terhukum sudah pingsan total. Suntikan ini ditujukan untuk melemaskan otot. Begitu obat ini disuntikkan, otot akan tidak berfungsi sama sekali. Adapun suntikan terakhir ditujukan untuk menghentikan fungsi jantung. Jika proses ini berjalan lancar, maka terpidana tidak akan merasa sakit sama sekali.

Gambaran singkat hukuman mati dengan cara suntik

Kita tidak perlu berbicara tentang ada agama yang mendukung keberadaan hukuman mati dengan yang tidak, tentu saja itu akan menjadi debat kusir yang berkepanjangan. Namun jelas, di hukum keenam di dalam Alkitab tertulis, "Jangan Membunuh", yang juga dapat diartikan bahwa kita pun tidak boleh membunuh sesama kita.

Memang membingungkan kalau berbicara tentang hukuman mati, ada banyak pro dan kontra. Tidak cukup hanya melihat dari sisi hukum, agama, sosial & kebudayaan yang berlaku, inferensi negara asing, tapi masih banyak hal lain yang tetap harus dipertimbangkan. Yang jelas, saya lebih setuju dengan kalimat, "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Saat ini kita hidup di NKRI yang memiliki hukum. Hukum di Indonesia memang tidak sempurna, ya karena yang membuat juga masih manusia, namun hukum membuat banyak hal lebih teratur. Apakah seseorang layak dihukum mati atau tidak, marilah kita serahkan kepada mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia.

Satu hal lagi. Jika saya ditanya, "Apakah hukuman mati perlu diterapkan di Indonesia?", saya akan jawab, "Tidak Perlu" dan saya tidak akan memberi alasan tambahan.

9 orang memberi komentar:

Anonymous said...

hmm..gak akan ketemu kalo kita bicara dari sisi hukum Tuhan ya. Mutlak adanya bahwa tak satupun dari kita manusia punya hak untuk mencabut nyawa siapapun dengan alasan apapun, ya kan? Tapi..mungkin ada pandangan lain yang membenarkan hukum mati untuk tetap dilaksanakan...aku belum tau..

Anonymous said...

hmm....ada bbrp kejahatan yg diperbolehkan oleh PBB utk diterapkan hukuman mati....pertanyaan saya kalo benar anda anti hukuman mati, bagaimana anda menyikapi sikap PBB tersebut yg notabene adalah pembela HAM?? coba baca statuta-statuta yg dikeluarkan PBB, putusan2 hakim terutama MK yg melegalkan hukuman mati... seseorang dihukum mati bukan karena kejahatannya yg sadis tp lebih kepada aspek kemanfaatan, apakah bila orang ini hidup ia akan berubah atw tidak, juga utk melindungi masyarakat dan menimbulkan efek jera shg diharapkan kejahatan spt itu tidak terulang lagi...

Wijoyo Simanjuntak said...

@bilik2engeline:
benar kak, kalau memang secara agama memang tidak dibenarkan, dan hal yang simple itu lah yang menjadi dasar mengapa saya tidak setuju selain memang atas dasar kemanusiaan. Tentu saja ada banyak pandangan lain yang mendukung hukuman mati

@yogie:
hmm...memang alasan seperti itu juga bermanfaat. Ada satu kalimat yang sering diucapkan temanku, "Peluang itu tidak 100% tapi juga tidak pernah 0%". Manusia itu tidak sempurna, pasti ada saja orang yang suatu saat meniru hal yang demikian. Juga dengan sifat yang berubah, tentu masih ada harapan kan? Maaf, saya lebih memandang hal ini dari aspek kemanusiaan daripada aspek hukum, namun saya selalu menjunjung tinggi hukum yang berlaku di Indonesia, walaupun saya tidak setuju adanya hukuman mati. Hehehe...salam kenal bro...

Anonymous said...

Hm, kebetulan sekali saya pernah menulis makalah singkat mengenai tema ini.

Saya pribadi setuju dengan diadakannya hukuman mati, TAPI tentu hukuman seekstrim dan seserius ini harus dijalankan hanya sebagai opsi terakhir, bukan sembarang tembak/pancung/rajam/apapun metodenya. Sedapat mungkin hukuman mati dihindarkan, tapi kemungkinan untuk menjalankannya harus tetap dibukakan.

Dan selama prinsip utama dilaksanakannya hukuman mati bukan retribusi atau‘pembalasan’, sebagai media untuk membalas dendam. Melainkan agar ada sifat tegas dan tanpa kompromi terhadap pelanggaran hukum. Seharusnya pelanggaran, sekecil apapun, tidak boleh dibiarkan tanpa dibayarnya sanksi. Dan bila pelanggaran itu berat, dibutuhkan sanksi setara.

IMO, pelaksanaan hukuman mati dapat menanamkan rasa keadilan pada masyarakat dan law officials dengan adanya ultimatum hukuman mati. Justru dengan menunjukkan bahwa sistem penegakan hukum menganggap serius hak untuk hidup (karena hukuman mati dilaksanakan pada orang yang telah melanggar hak hidup orang lain) jumlah kasus pelanggaran hukum berat dapat berkurang.

(Tapi tidak benar juga kalau menggunakan 'Karena si A sudah melanggar hak asasi orang lain maka kita boleh melanggar hak asasinya', karena itu sudah masuk ke prinsip retribusi dan juga fallacy xD)

*baru datang-datang langsung komentar ga jelas*

Salam kenal~

Wijoyo Simanjuntak said...

@Amanda K:
Saya "hampir setuju" dengan semua isi komentar kamu...wohoho, seneng rasanya ada yang bisa memberi komentar lebih dari sisi kemanusiaannya. Satu yang ingin saya sanggah, kenapa harus tetap ada hukuman mati? bukankah bentuk sanksi yang setara itu dinilai oleh manusia? seandainya demikian, seharusnya sesama manusia (memandang dari sisi hukum) bisa menganggap bahwa sanksi tertinggi adalah hukuman seumur hidup...bener kan?

Berarti kepada manusia-manusia pembuat hukumnya, apakah mau men-brainstorming bahwa pidana seumur hidup adalah yang sanksi paling berat atau tidak.

Salam kenal juga :)

Oya, kamu buat makalah ttg ini buat apa?

Anonymous said...

Hihi, cuma untuk tugas diskusi Bahasa Indonesia. Karena yang lain nggak tahu mau tentang apa, ya saya sesuka hati menentukan tema saja.

Hm, saya sih lebih tidak setuju dengan life imprisonment ketimbang hukuman mati. Kalau dalam kasus dimana narapidana dipekerjakan beda lagi, tetapi saya rasa justru hak manusia akan kebebasan lebih penting daripada hidup =_=b

Hm, mengenai kenapa saya menganggap hukuman mati harus tetap ada... Justru karena sifatnya yang tidak bisa di-undo, hukuman mati adalah ultimatum yang sempurna. Lebih baik kalau tidak diterapkan (berarti tidak ada tindakan kriminal yang cukup besar untuk membutuhkan ultimatum ini), tetapi keberadaannya saja mungkin bisa membuat (calon) kriminal berpikir dua kali sebelum berbuat. Toh, saya rasa hukuman mati pun hanya dibutuhkan untuk situasi-situasi tertentu dimana keberadaan orang tersebut justru akan merugikan, boro-boro menebus kesalahannya.

Wijoyo Simanjuntak said...

@amanda k:
wah, amanda sekolah dmn siy? tugasnya rumit sekali, hehehe...
hak manusia akan kebebasan selalu tidak akan lebih tinggi daripada hak untuk hidup (menurut saya), bagaimana seseorang bisa merasakan kebebasan/keterikatan kalau dia tidak memperoleh kehidupan...setuju kan?
Benar kata amanda, hukuman mati tidak bisa di-undo, tapi sebagai manusia tentu saja setiap hal yang kita buat memiliki kemungkinan adanya "wilayah" kesalahan, dan itu lah yang seharusnya kita hindari. Sebenarnya, tanpa adanya hukuman mati/penjara sekalipun, seseorang seharusnya sudah memiliki kesadaran dalam membedakan mana yang salah dan yang benar, mana yang baik dan yang buruk...itulah sebabnya Pencipta kita memberi kita akal, pikiran, perasaan dan nurani.

Anonymous said...

Ya, dekat-dekat ITB lah... SMAN 1 (tapi dekatnya cuma masalah lokasi, haha)

Hmm, kalau menurut saya sih bila orangnya mati, mata dia tidak akan memiliki kebutuhan akan kebebasan in the first place.

Memang seharusnya kesadaran akan benar dan baik itu ada. Tapi saya rasa tidak valid kalau itu dijadikan alasan peniadaan hukuman mati. Toh kalau semua orang melakukan yang seharusnya mereka lakukan, yaitu bisa membedakan baik-buruk, hukuman ya tidak usah ada sekalian.

Anonymous said...

ya aku anti hukuman mati karna didalam kitab agama mnpun tak ada aturan hukuman kati marilah kita sejenak liat pada yang maha kuasa yg pemaaf. bukan berarti juga yg salah kita maafkan tp kita liat dari sisi kemanusian dan agama karna manusia tak berhak memutuskan hukuman bagi org yg bersalah yg brhak adalah yg kuasa`