kebohongan-kebohongan itu

05 August 2009

Apakah anda pernah berbohong? Bagaimana perasaan anda ketika anda berbohong? Atau, bagaimana perasaan anda ketika anda dibohongi? Ketiga pertanyaan ini selalu melintas di benak saya selama 2 bulan belakangan ini.

Saya pernah berbohong, berbohong pada orang tua, saudara kandung, teman, bahkan pada diri sendiri. Perasaan saya ketika saya berbohong adalah takut dan ingin menutupi kebohongan tersebut. Sedangkan perasaan saya ketika dibohongi adalah kecewa dan marah, mungkin lebih tepatnya kecewa yang mendalam.

Sebenarnya kebohongan tidak akan perlu terjadi apabila ada kedekatan antara pelaku kebohongan dengan objek yang dibohongi, karena setiap pengakuan akan ditanggapi dengan lebih cermat. Sama seperti kita melakukan dosa, kita harus mengakuinya kepada Tuhan. Jika tidak, berarti kita melakukan kebohongan kepada Tuhan.

Dulu, saya pernah melakukan dua hal yang mirip. Suatu hari saya memecahkan sebuah piring, lalu segera saya bersihkan dan buang pecahannya di tempat sampah tanpa mengakui hal ini kepada ibu saya. Entah bagaimana caranya, ibu saya mengetahui hal tersebut dan menanyakannya kepada saya. Namun saya menyangkalnya, sehingga Ibu marah kepada saya. Ibu tahu tentang hal ini dari adik saya dan tentu saja ingin menguji kejujuran saya. Lain halnya dengan ketika saya memecahkan vas bunga di halaman rumah. Saat itu saya segera menemui ibu saya dan mengakui kelalaian saya dan ternyata ibu cuma berkata "kamu ga luka kan? ya sudah, ambil sapu dari dalam rumah dan bersihkan pecahannya".

Ada perbedaan diantara kedua kejadian tersebut. Antara sebuah kesalahan dilanjutkan dengan pengakuan dibandingkan dengan kesalahan yang dilanjutkan dengan kebohongan. Yang jelas, keduanya antara objek yang sama, saya dan ibu saya. Kondisinya adalah, ibu saya mencintai saya. Perbedaannya adalah efek dari pengakuan/kebohongan. Pengakuan memberi efek positif, sedangkan kebohongan memberikan hasil sebaliknya.

Sekitar 2 bulan yang lalu, saya juga dibohongi oleh seorang yang sangat-sangat-sangat saya sayangi. Saya mengasihi dia setulus hati dan saya berharap banyak pada hubungan kami pada saat itu. Kebohongan itu memberikan dampak yang luar biasa negatif kepada diri saya, dan seharusnya tidak seperti itu apabila dari awal "kejadian" sudah dikomunikasikan dengan baik.

Sebenarnya dari awal mula terjadinya hal tersebut, saya sudah menyadari adanya perbedaan psikologi dalam dirinya. Mulai dari ogah-ogahan mengangkat telepon, jarang membalas sms, tidak perhatian seperti dulu, dan hal-hal aneh lainnya. Sampai kebohongan itu terbongkar, dan pengakuan tetap tidak terucap dengan lugas. Tidak hanya itu, setelah itu pun dia tidak bisa dihubungi lagi. Dan benar, saya merasa ditinggalkan sendiri. Dia bebas tertawa dan bersenang-senang dengan teman-teman dan "teman"nya, sedangkan aku meratapi nasib akibat kekacauan semesta. Memang, kekacauan semesta adalah tanggung jawabku sebagai penguasa semesta alam pikiranku.

Mari kita berandai-andai. Seandainya dia mengungkapkan permasalahan itu dari awal (seperti yang kukatakan/kusms ke dia tgl 15 Mei lalu), mungkin hal ini tidak perlu terjadi. Seandainya tanggal 6 Juni aku tidak menelponnya, mungkin aku tidak perlu mendengar suara "teman"nya itu. Seandainya tanggal 10 juni aku tidak membuka emailnya, mungkin aku tidak perlu melihat foto mereka. Seandainya tanggal 12 juni aku tidak menghidupkan ponsel, mungkin aku tidak perlu mengecewakan kedua orangtuaku. Seandainya 29 oktober tahun lalu aku tidak menelponnya dan tidak membalas smsnya, mungkin aku masih bla-bla-bla. Sendainya tahun 2004 lalu aku tidak memintanya menungguku, mungkin aku akan...............STOP! terlalu banyak berandai-andai. Satu yang pasti, aku masih menyayanginya sampai saat ini.

Satu kalimat penutup pembicaraan kami 17 Juli yang lalu, "Kalau dirimu sudah selesai bermain-main, kembalilah padaku ya, Dek"

Berat rasanya memaafkan, tapi Tuhan telah lebih dahulu memaafkan semua kesalahanku.
Aku memaafkanmu dan setia menantimu di sini.

3 orang memberi komentar:

Petra Barus said...

numpang komen aja

Anonymous said...

perumpamaan vas bunga tadi, bagus sekali.

Wijoyo Simanjuntak said...

@petra: mangga atuh kang :D
@ravimalekinth: salam kenal bro...itu bukan perumpamaan, tapi termasuk dalam kejadian nyata yg pernah saya alami