Sebuah kisah mengenang almarhum Kristanti, kakakku tercinta yang melawan ganasnya kanker darah.
Dia
Dibalik gaun putih bersinarnya
Ada tubuh yang tak berdaya melawan sakit
Juga inspirasi untuk tetap bertahan
Penggalan sejarah itu diawali tanggal 13 Juni 1998. Kebahagiaan di saat semua anak sekolah menerima laporan hasil belajar. Ya, kami berlima (Kristanta, Kristanti, aku, Theresia dan Agustina) menerima hasil yang sangat memuaskan. Memang hanya aku yang tidak juara 1, hahaha tapi itu bukan masalah. Kuhitung-hitung berapa uang yang akan kuterima, horeee! 50 ribu rupiah akan mengalir ke tabunganku karena 8 buah angka 8 (8x5rb) dan sebuah angka 9 (1x10rb), memang jauh dari yang diterima kedua kakak kembarku, tapi uang 50 ribu sudah sangat besar untuk ukuran anak SD kelas 6. Malam itu ditutup dengan makan malam keluarga. Yupe, makan di restoran "3M" di jalan HM Joni lalu pulang dan tidur.
Aku terbangun jam 4 pagi, kudengar suara berisik Papa dan Mamaku. Kutahu mereka sedang mencemaskan K' Tanti (begitu kusebut namanya) yang demam tinggi dan bengkak-bengkak. Papa menyuruhku membuka garasi dan gerbang, dan dengan tangkas kulakukan. 15 menit setelah kuterbangun tadi, Papa, Mama dan K'Tanti telah meluncur dengan sedan "Timor S515" B 2550 YE ke arah rumah dokter Simanjuntak di jalan HM Joni (tepat di sebelah rumah temanku Martinus). Sayang, dokter itu tidak mau bangun dan menerima kakakku.
Dengan langkah seribu, Papaku segera mengarahkan kemudi ke RS Pirngadi Medan untuk memperoleh penanganan. Ya, itu rumah sakit pemerintah. Segera masuk ruangan penanganan darurat, namun segera ditransfer ke ruang rawat inap. Tes darah dilakukan, dokter umum pun mengambil kesimpulan "Demam berdarah", suatu kesalahan diagnosa yang bisa saja membawa maut. Kubaca hasil tes darah yang tak kumengerti itu, terlintas di pikiranku, "kanker darah", namun tak kukatakan, karena aku tak yakin bahwa aku memiliki kemampuan dalam membaca penyakit seseorang.
Tidak percaya dengan kata dokter umum, hasil laboratorium dibawa ke Dr. Gerhard Panjaitan, SpBOnk (kakek dari mamaku) untuk diminta opini kedokteran. Kesimpulan sementara, "kanker darah", namun dia tidak percaya dan menyarankan meminta opini kedokteran kepada teman sejawatnya, Dr. Gino Tan, Phd, SpPK (seorang ahli darah, yang kata beliau terbaik kedua di Singapura). Hanya dalam hitungan jam, ditarik diagnosa, "kanker darah stadium 2, tipe ALL/Acute Lymphoblastic Leukemia".
Hasil diagnosa itu dirahasiakan kepadaku. Papa dan Mama hanya memberitahu K'Tanta, saudara kembarnya. Tapi aku bisa merasakan ada yang ganjil, ketika Papa dan Mama berdoa sambil menangis di kamarnya. Keyakinanku tetap, kutanya kepada K'Tanta dan dia pun mengiyakan. Aku berdoa agar Tuhan membukakan jalan keluar atas permasalahan ini, keyakinan seorang anak kecil yang baru berumur 11 tahun.
Senyumnya begitu manis
Seakan tak ada ketakutan membelitnya
Ratusan bahkan ribuan tusukan jarum
Mungkin akan menghujam kulitnya
Sebagai seorang pasien yang memiliki hak mengetahui hasil diagnosa, dia bertahan dan tetap tegar, bahkan di depanku dia mengatakan, "Mama, Papa jangan menangis". Pembicaraan medis dilanjutkan antara Papa, Mama dan dokter dari RSPM. Namun segera setelah berbicara, K'Tanti dipindahkan ke RSU. Herna (tempat kerja dr. Gino Tan). Kenapa begitu? Karena RSPM dan dokter-dokternya hanya ingin menggunakan kakakku sebagai "kelinci percobaan" dengan obat-obatan eksperimen. Lucu yah?
Perawatan segera dimulai, dia diposisikan di Ruangan Nuri II (tempat orang-orang dengan penyakit yang berhubungan dengan darah). Dokter mengatakan akan memberikan suntikan chemotherapy yang nantinya akan memuat rambutnya berguguran atau bahkan bisa membuat komplikasi dengan organ tubuh lainnya. Kami menaruh keyakinan atas usaha dr. Gino, itu pun dengan harapan hidup 70%, sebuah harapan yang sangat tinggi menurut kami. Tak perduli berapa mahal obat-obatan tersebut, Papa dan Mama akan selalu menyediakan yang terbaik buatnya. Satu bulan pertama adalah masa terberat, dimana pengobatan intensif dilakukan, waktu penjagaan yang 24 jam serta kontinu, pengeluaran yang sangat besar, sampai 5 juta rupiah perhari. Terpikir untuk melakukan transplantasi sumsum tulang belakang dengan donor K'Tanta, kembarannya, namun itu terlalu beresiko.
Langkah chemotherapy mulai dilakukan. Zat kimia yang sangat reaktif itu sangat panas ketika bereaksi dengan sel-sel yang ada di dalam tubuh. Tak jarang dia mengatakan bahwa seluruh tubuhnya sangat panas, namun dia tak terkejut ketika rambutnya yang panjang berguguran serentak. Seluruh nilai dalam tes darah menurun sesuai dengan yang direncanakan dokter. Bayangkan ada seseorang yang masih mampu hidup dengan kadar haemoglobin 2,8 dan trombosit 14 ribu, serta nilai komponen-komponen darah lain yang tidak kutahu maknanya.
Darah itu begitu kental
Di dalam diriku dan dirinya
Mengalir darah yang sama
Sebelum ronde kedua dimulai, dokter mengisi kekuatannya lagi. Empat ampul darah dan dua belas ampul trombosit diperoleh dari PMI dengan harga yang sangat mahal, dimana PMI memperolehnya secara cuma-cuma dari sejumlah dermawan darah. Itu adalah saat dimana darah menjadi kebutuhan primer dan penentu keberlangsungan hidup seseorang.
Fungsi ekskresi dan sekresi terganggu akibat obat-obatan yang masuk ke tubuhnya. Bahkan pankreas dan ginjalnya sempat malfungsi, namun kekuatan bertambah dengan berlalunya hari. Masih kuingat, kala itu dia cuma makan 3 sendok nasi setelah puasa 8 jam, namun kadar gula darahnya langsung melonjak ke 630 yang membuatnya sangat lemas, bahkan hampir pingsan.
Liburan itu kuisi dengan menjaga kakakku tercinta. Memberinya makan, mengelap keringatnya, menyisir rambutnya yang hampir habis, bercanda bersamanya, membantunya berjalan ke kamar kecil, memeluk dan mencium keningnya menjadi keseharianku di kala siang. Kadang aku digantikan oleh K'Tanta, dan di kala malam, Papa dan Mamaku secara bergantian menjaganya. Tak ada yang memasak di rumah, semua makanan dibuatkan oleh nenek dan tanteku, rumah pun sepi.
Hidup akan terus berlanjut
Siang berganti malam
Hari berganti hari
Liburan usai, dan sendirian aku mendaftar ke SLTP N 3 Medan. Murah di sisi biaya dan dekat dari rumah. Tak lama berselang, K' Tanti boleh dirawat jalan. Ya, sudah dua bulan dia tidak pulang ke rumah. Kamarku, sebuah kamar berukuran 5x6 m dengan kamar mandi dalam, kuberikan untuknya. Segera kamar itu dibersihkan dan disterilisasi agar sesuai dengan kriteria tempat perawatannya. Makanannya diatur atas saran dokter dan seorang perawat profesional pun kami pekerjakan untuk mengawasinya.
Tak hanya melalui suntikan di pembuluh darah, setiap berulang dua minggu, sebuah jarum tebal berukuran sekitar 15 cm pasti akan menghujam ke tubuhnya. Jarum itu ditusukkan melalui sela-sela tulang belakang, diposisikan ke arah sumsum tulang belakang. Tak jarang proses itu harus diulang karena tidak menembus celah yang seharusnya. Bayangkan betapa sakitnya kala itu? Mungkin aku sebagai laki-laki tak akan mampu menghadapinya.
Dengan kondisi dan penyakit yang dideritanya, dia tidak memiliki waktu untuk sekolah. Namun dia menyempatkan diri untuk mengikuti Ebtanas kelas 3 SMP, dan menjadi seorang lulusan SLTP Santa Maria dengan NEM yang sangat tinggi. Dia juga mampu lulus masuk SMA Negeri 1 Medan (salah satu SMA favourit di kota Medan) dengan NEM yang dimilikinya, walaupun hanya sempat belajar sesaat di kelas 1.
Maju mundurnya perawatan terjadi sepengetahuan dan pengawasan dokter. Pernah terjadi, virus (aku lupa namanya) menyerangnya dan membuat bibir lidah dan rongga mulutnya luka-luka, namun dengan tangkas dr. Gino mampu mengobatinya. Kemajuan semakin terlihat dan harapan hidup semakin tinggi. Ada banyak mantan penyakit leukemia membagi cerita, dan ada banyak orang yang mendengar kesaksian suksesnya pengobatan ini dari Mama dan Papaku. Dengan hasil seperti ini, keyakinan bertambah, dan kami pun ke studio foto untuk foto keluarga di pertengahan tahun 2000.
atas: Theresia, Papa, Mama, Wijoyo;
bawah: K'Tanta, K'Tanti, Agustina;
Cerita sukses itu berjalan sampai Oktober 2000 dimana obat yang biasa kami pesan datang terlambat. Bahkan sangat terlambat. Lebih dari satu bulan kami menunggu obat yang dibutuhkan. Terdengar isu bahwa hal ini terjadi karena hubungan yang sedang tidak baik antara Indonesia dan Amerika Serikat, sehingga produk-produk yang diimpor dari negara tersebut tertahan. Kalaulah berita ini benar, sangatlah ironis.
Sebulan kemudian, kondisinya menurun. Panik melanda, Papa dan Mamaku pun membawanya ke rumah sakit yang berada di dekat rumah, yaitu RS Estomihi yang berada di Jl. Sisingamangaraja XI. Sekali lagi, dokter di rumah sakit itu melakukan kesalahan penanganan. Dia "memaksa" untuk prosedur transfusi darah, langkah yang sangat disesali oleh dr. Gino. Segera setelah itu, Papaku memindahkannya kembali ke RSU Herna.
Bagai teriris sembilu dan disiram cuka, dr. Gino menyatakan bahwa penyakitnya kembali, bahkan lebih ganas karena juga telah menyerang sumsum tulang belakang. Vonis pun dijatuhkan, umur K'Tanti tidak lebih dari 3 bulan. Langkah-langkah yang dilakukan dokter selama ini seperti tidak berguna sama sekali. Sekuat tenaga dikerahkan dokter untuk mengembalikan kondisinya, namun harapan itu sangat kecil.
Sampai di hari ketika dokter mengatakan saatnya berada di dunia kurang dari seminggu lagi, Mama segera memanggil Pdt. T. Siburian untuk melakukan sakramen sebelum dia meninggal. Gaun putih pun dipesan dari penjahit langganan kami. Berita buruk dikabarkan ke seluruh keluarga untuk bersiap-siap menerima kepergian kakakku tercinta.
Malaikat meniupkan suara-suara
Mendampingi jiwa yang akan berlalu
Kematian itu berjalan begitu hening
Hari itu, Sabtu 3 Febuari 2001 pukul 14.00, saat dimana aku tiba di rumah sakit sebagai tempat singgah sebelum berangkat ke tempat bimbingan belajar. Saat itu dia ketakutan ketika melihat beberapa malaikat berpakaian putih di sebuah lukisan, padahal itu hanya lukisan bunga tulip. Pukul 15.30, sengaja aku terlambat pergi ke tempat bimbingan belajar. Di pintu, kumendengar K'Tanti berkata, "Yesus, Yesus, Yesus." Sebuah panggilan yang akhirnya kusadari menjadi kata-kata terakhir dari mulutnya. Nafasnya semakin lambat, suasana hening menjadi haru, kepanikan melanda dokter dan perawat. Pukul 16.15 dia dinyatakan dokter telah kembali ke pangkuan Bapa di Surga.
Dia masih 17 tahun
Ketika jantung berhenti berdetak
Darah pun mulai menggumpal
Dan hembusan nafas tak ada lagi
Dia dingin
Dia kaku
Seakan keabadian telah menjadi bagian dari dirinya
Dibalik wajahnya yang membiru
Ada senyum kekuatan
Tegar
Pukul 16.30 seusai les, aku berjalan pulang bareng Ronald. Sengaja kuputar jalanku melalui belakang rumah sakit, tepatnya melalui ruang jenazah, tapi yang kutemukan hanyalah gerbang yang terkunci. Berjalan lagi ke depan, dari kejauhan kulihat mamaku dan kakekku berjalan setengah berlari. Kusadari bahwa K'Tanti telah tiada, maka kukejar mereka dengan berlari cepat. Air mata jatuh dari mata mereka, perasaan sedih menyelimuti. Tidak lagi berjalan ke ruang perawatan, kami langsung menuju ruang jenazah.
Kulihat wajah yang sangat kukenal terbaring dengan kedua jempol kaki terikat tali berwarna putih. Segera tubuhnya dimasukkan ke ambulans dan aku pun menemaninya selama perjalanan. Iringan tidak banyak, hanya sebuah mobil dan beberapa sepeda motor menemani ke persinggahan terakhirnya, rumah kami. Rumah itu sudah mulai penuh dengan tamu yang melayat dan kesedihan tumpah di setiap pasang mata yang ada di sana.
Sejenak kutertidur
Bayangnya datang temani mimpi
Tersadar kubertanya,
Dimana kakak?
Dia di sana, terbaring kaku
Malam itu aku sangat lelah, kutertidur sejenak sekitar 30 menit. Ketika bangun kuterkejut dan tidak percaya adanya kematian. Setengah sadar atau mengigau, kubertanya, "Dimana kakak?". Aku melangkah ke ruang tamu dan kulihat dia telah terbaring kaku. Dia dikelilingi seluruh keluarga dekat.
Tak ada kehangatan di sana
Hanya tetesan air mata di pipi orang-orang yang dikenal
Sabtu berlalu, Minggu pun menyapa. Kebaktian yang biasanya dilakukan di Gereja, hari itu dipindahkan ke rumah kami. Sekitar 1500 orang keluarga dan relasi silih berganti datang dan mengisi ruang utama rumah. Kata-kata penghiburan mengalir dari banyak orang seakan-akan mereka juga turut merasakan kesedihan yang kami alami. Sampai di saat acara perpisahan terakhir di pekuburan Kristen Gajah Mada II aku belum pernah menangis. Kesedihan itu kupendam dalam hati, sendirian.
Hanya membersihkan pusaranya dan menyiangi rerumputan yang bisa kulakukan sejak itu, terutama ketika aku berada kembali di kota Medan. Namun, kenangan dan kebahagiaan tentang dirinya selalu melekat di dalam benakku. Kekuatannya menjadi salah satu sumber inspirasi bagiku.
Dan ketika dirinya berlalu
Sebagian dari jiwaku pun turut lepas
Terima kasih kuucapkan kepada:
- Tuhan Yesus Kristus yang memberikan hidup kekal di Surga
- Dr. Gino Tan, Phd, SpPK
- Dr. Gerhard Panjaitan, SpBOnk
- Pdt. T. Siburian STh
- RSU Herna Medan
- Para perawat di RSU Herna
- Dr. Robert Tan
- Seluruh keluarga
- Seluruh relasi keluarga